Sejarah Desa Makrampai
Menurut cerita dari orang tua/pemuka masyarakat, yang didengarnya juga dari cerita orang tua sebelumnya, wilayah Desa Makrampai itu dibuka oleh 3 orang sekeluarga yaitu Datuk Kasan (suami) Mak Nille (istri) dan anaknya Saleh yang asal keluarga tersebut dari hulu Sambas, kira-kira Kampung Siburak lebih kurang tahun 1843.
Mereka datang sekeluarga dengan meminta ijin terlebih dahulu dari Datuk Maharaja Imam Sambas, berangkatlah keluarga tersebut (3 orang) menyusuri Sungai Sambas menggunakan perahu, yang pada waktu itu buaya banyak sekali dan sangat ditakuti oleh masyarakat yang dianggap punya kekuatan mistis.
Singgahlah keluarga tersebut di suatu teluk yang disebut teluk penjara (tempat mengurung buaya), yaitu sekarang disebut Parit Ilek. Naiklah keluarga tersebut kedaratan yang penuh dengan pohon yang besar/hutan belantara dan ternyata tanahnya sangat subur. Kemudian mereka membuka tanah (merimbak) didaerah pesisir/tepi Sungai Sambas, dan mendirikan pondok ditempat tersebut. Tujuh hari setelah itu Datuk Kasan membawa kawan-kawannya dari daerah Seminis berjumlah 20 orang untuk membuka hutan lebih dalam lagi ke sebelah timur, untuk memasuki hutan rombongan tersebut oleh Datuk Kasan dibagi 4 kolompok yang masing-masing berpencar tiap kolompoknya, sorenya yang kembali hanya 3 kolompok, 1 kolompok tersesat dihutan.
Datuk Kasan mengkabarkan berita tersebut kepada istrinya Mak Nille, atas saran Mak Nille pencarian dilaksanakan besok paginya. Keesokan harinya ke 3 kolompok tersebut beserta Mak Nille masuk hutan mencari kolompok yang hilang, setelah sore hari kolompok tersebut ditemukan dalam keadaan mati dan mayatnya diatas pohon besar dengan tubuh tercabik-cabik dan dilampaikan (disampaikan) diletakkan didahan pohon. Melihat hal tersebut Mak Nille istri Datuk Kasan dengan pandangan mata batinnya mengetahui bahwa rombongan yang hilang telah mati oleh mahluk penunggu hutan sebagai tumbal. Akhirnya Mak Nille pun bertempur dengan mahluk penunggu hutan yang membunuh temannya dan mahluk tersebut dapat dikalahkan dan menyerah dengan Mak Nille. Pendek cerita akhirnya mahluk–makhluk tersebut dipindahkan oleh Mak Nille ke Tanjung Kerimun dimuara Kota Bangun Sebedang.
Waktu berjalan terus tanah yang diolah sangat subur, tidak ada lagi gangguan, hasil pertanian berlimpah dan penduduk diderah tersebut semakin ramai, maka terbentuklah pada jaman itu suatu organisasi kemasyarakatan yang mengatur kehidupan sehari-hari.